Hijaudaun.net – Menengok para petani rumput laut di Tanjung Benoa, Bali yang membudidaya mungkin jarang diketahui kids zaman now. Namun, beberapa generasi yang baru tumbuh bulu ini kerap mencari rumput laut di kedai hingga restoran bintang lima untuk di konsumsinya.
Bekal sekolah para siswa di sekitaran Benoa mungkin banyak dihabiskan untuk membeli olahan rumput laut. Sambil bercengkrama, wajah mereka tak bisa membohongi nikmatnya makanan legendaris itu.
Pemandangan ini kerap penulis lihat di salah satu warung yang berada di Tanjung Benoa, Bali. Di salah satu warung yang luasnya 5 x 5 meter itu menjual dua jenis rumput laut (di Bali dikenal dengan nama Bulung). Yakni, bulung boni dan bulung sangu atau bulung rambut.
Berdasar hasil penelitian menyebutkan kandungan antioksidan bulung boni lebih tinggi dibandingkan bulung sangu. Cara mengolahnya juga berbeda. Bulung boni, tidak dimasak. Cukup dicuci saja dengan air panas. Biasanya disajikan dengan campuran parutan kelapa bakar, lengkuas, jahe, dan perasan jeruk limo
Sedangkan bulung sangu, perlu direbus. Setelah airnya mendidih, langsung diangkat. Biasanya, bulung ini diberikan bumbu cabai, terasi, gula putih, perasan jeruk limo, dan vetsin. Bahan bumbu tersebut diulek di atas cobek hingga halus lalu ditambahkan kuah pindang.
Sekadar diketahui, kuah pindang itu kuah yang diperoleh dari proses memindang ikan, terutama ikan tongkol. Bumbu berkuah inilah yang dituangkan ke dalam bulung yang telah ditempatkan di piring.
Namun, para penikmat biasanya masa bodo. Kadang kenikmatan mengalahkan prosesnya.
Bicara manfaat bulung, kamu bisa Google dan bakal ketemu puluhan alasan. Baik untuk kesehatan maupun di olah menjadi alat kosmetik. Di Jepang kita kenal dengan nama nori (bahan makanan berupa lembaran rumput laut yang dikeringkan). Di toko modern juga banyak di jual jadi keripik.
Rumah penulis sejatinya tak terlalu jauh dengan warung yang dibangun pada 2009 itu. Biasanya, setiap berangkat bekerja ataupun melakukan aktivitas keluar rumah, warung tersebut selalu ramai dipenuhi oleh anak muda. Namun lambat laun, semakin sepi. Mengapa?
Pertanyaan yang sama menghampiri penulis waktu itu. Karena penasaran, penulis pun mampir ke warung tersebut. “Sing ade bulung jani. Keweh ngaleh bulung (tidak ada rumput laut sekarang. Susah nyarinya,red),” ujar pedagang yang enggan namanya disebutkan.
Jidat penulis pun mulai berkerut mendengar kata itu. Dari penelusuran penulis, tercatat penurunan produksi rumput laut memang terjadi di Bali. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Bali menunjukkan, pada 2014 produksi rumput laut Bali turun hingga 42,08% atau sebesar 84.320,58 ton dari tahun sebelumnya yang mencapai 145.597,2 ton.
Angka penurunan yang cukup besar ini tentu ada alasan yang besar pula. Setelah ditelisik, alih fungsi lahan karena pariwisata di pusat budidaya rumput laut menjadi faktor utamanya. Lahan yang sebelumnya menjadi sentra rumput laut kini telah disulap menjadi tempat pariwisata.
Dari pengamatan penulis, ada beberapa tempat di Bali Selatan dulunya merupakan tetap penanaman budidaya rumput laut dan kini sudah tidak ada lagi. Seperti di Desa Kutuh yang kini menjadi objek wisata Pantai Pandawa ataupun di kawasan Pantai Geger, Sawangan yang kini menjadi wilayah hotel Mulia Resort.
Sejak 2011 silam, masih ingat betul di kepala penulis ketika para petani rumput laut di Sawangan resah dengan keberadaan mega proyek Hotel Mulia tersebut. Petani rumput yang puluhan tahun lebih bertanam rumput laut mulai mengurangi aktivitasnya karena dianggap akan mengganggu proyek dan para tamu bila hotel tersebut sudah dioperasikan.
Hal tersebut pun kini terjadi. Dari pantauan penulis, aktivitas rumput laut sudah tidak ada lagi. Lalu kemana para petani itu? Dari keterangan yang dihimpun, mereka kini beralih profesi menjadi pekerja hotel. Jadi, tak hanya alih fungsi lahan, tetapi juga terjadi alih fungsi pekerjaan.
Dari bos kecil sebagai petani rumput laut, kini menjadi budak besar di perusahan besar. Kebanyakan para petani ini menjadi penjaga keamanan atau bahkan dari cerita warga, ada juga yang menjadi tukang kebun. Namun tak sedikit mereka kini menjadi pengangguran.
Ironis. Para petani ini dipaksa berubah atas nama pariwisata. Nasib rumput laut dan para petani kini memang kian memperhatinkan. Padahal, bila budidaya rumput laut dikembangkan dengan baik melalui beragam inovasinya, rumput laut akan jaya di negeri ini. Rumput laut juga harta karun.
Pariwisata di Bali memang menjadi primadona. Segala sesuatu, bila disandingkan dengan nama pariwisata, seolah semua mendapat permakluman. Padahal, sejatinya konsep pariwisata semestinya dibangun adalah pariwisata budaya. Jika budayanya saja bisa digeser, lantas mau jadi apa Bali ke depan? Ingat, pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata. (*)